KOMUNIKASI DIALOG SEBAGAI SARANA MENJALIN KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA

Komunikasi menjadi hal yang sangat vital di setiap kehidupan. Tanpanya, kehidupan manusia tidak akan pernah berlangsung, karena setiap aktivitas manusia selalu sarat dengan komunikasi. Fakta menunjukkan, 70% hidup manusia digunakan untuk komunikasi. Seseorang dapat memproduksi rata-rata 36000 kata dalam sehari, dan hal itu di luar kesadarannya. Ini menunjukkan bahwa komunikasi sebagai aktivitas yang sangat penting, karena melalui komunikasi, seseorang dapat menjalin perkenalan, persahabatan dan bertukar pikiran dengan orang lain. Lebih jauh, komunikasi juga menjadi jembatan antar umat manusia yang berbeda agama untuk menjalin kerukunan, keharmonisan dan kerja sama sosial.

Menurut Agus M. Hardjana (2009:10), komunikasi secara bahasa memiliki arti kebersamaan, persatuan, persekutuan, gabungan, pergaulan, hubungan. Sedang secara istilah, komunikasi mengandung arti yang bermacam-macam. Claude Shannon dan Warren Weaver sebagaimana dikutip oleh Mohammad Zahroni dalam buku Filsafat Komunikasi, Pengantar Ontologis, Epistemologis, Aksiologis (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009:4) mendefinisikan komunikasi sebagai penyampaian informasi, ide, perasaan (emosi), keahlian dan sebagainya, melalui penggunaan simbol-simbol seperti kata-kata, gambar, bentuk, grafik, dan sebagainya.

Inti dari komunikasi adalah pertukaran makna, maksud ataupun tujuan, sedangkan simbol-simbol seperti kata-kata, gambar, bentuk, grafik dan sebagainya hanya sebatas media yang digunakan dalam berkomunikasi. Mohammad Zahroni menjelaskan inti dari komunikasi sebagai berikut: 
Proses komunikasi pada hakikatnya adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan oleh seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan). Pikiran bisa merupakan gagasan, informasi, opini dan lain-lain yang muncul dari benaknya. Perasaan bisa berupa keyakinan, kepastian, keragu-raguan, kekhawatiran, kemahiran, keberanian, kegairahan, dan sebagainya yang timbul dari lubuk hati (hlm. 2).

Komunikasi, selain sebagai sarana interaksi, dalam pembagiannya ia juga sebagai sebuah keterampilan, peristiwa, disiplin ilmu dan proses sosial. Khusus yang terakhir ini, komunikasi dilihat dari peranannya dalam proses sosial serta efeknya terhadap perubahan sosial. Redi Panuju dalam bukunya Sistem Komunikasi Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997) menyatakan:
Para pakar dari pelbagai disiplin sangat percaya bahwa komunikasi merupakan suatu kekuatan yang dapat digunakan secara sadar untuk mempengaruhi dan mengubah prilaku masyarakat, terutama dalam menerima gagasan baru dan tekonologi baru (hlm. 13). Komunikasi juga mampu mengubah cara pandang seseorang terhadap budayanya, sukunya ataupun agamanya.

Sebagai proses sosial, komunikasi pada praktiknya banyak digunakan dalam hubungan antar agama dalam bentuk dialog. Hal itu bertujuan untuk menjalin kerukunan serta membangun kerja sama antar penganut agama dalam ranah sosial. Menurut Syarif, hubungan antar penganut agama adalah aspek kehidupan manusia yang relatif paling sensitif, dalam arti cenderung bersinggungan dengan emosi (Syarif, 2009:237). Buktinya, sejarah telah mencatat banyak sekali peristiwa ketegangan antar umat beragama. Ketegangan-ketegangan itu kerap muncul dalam bentuk polemik, pandangan yang apologis, sikap yang saling mengisolasi, lalu menjadi permusuhan, bahkan sampai pada konfrontasi fisik (Burhanuddin Daya, 2004:1).  Semua ketegangan tersebut, disebabkan adanya kecendrungan ajaran agama yang bersifat eksklusif, yaitu ajaran yang menganggap agamanya benar dan yang lain salah. ajaran eksklusif juga yang membuat satu aliran dengan aliran lain dalam satu agama menjadi saling terkotak-kotak.

Berkaca dari sejarah ketegangan agama yang telah disebutkan di atas, cukup banyak tokoh agama yang sadar akan pentingnya kesatuan dan persatuan serta inklusifitas antar penganut agama. Untuk itu diperlukan komunikasi yang efektif sebagai upaya harmonisasi antar penganut agama. Komunikasi yang dimaksud adalah komunikasi yang berbentuk dialog. Menurut Burhanuddin Daya (2004:40) tujuan dialog ini diarahkan kepada penciptaan hidup rukun, pembinaan toleransi, membudayakan keterbukaan, mengembangkan rasa saling menghormati, saling pengertian, membina integrasi, berkoeksistensi di antara penganut pelbagai agama dan sebagainya. Jadi, dialog di sini bukan sebagai ajang berpolemik, bukan juga sebagai tempat berdebat demi mempertahankan keyakinan dan mengajukan penolakan terhadap agama lain. Dialog di sini sebagai sarana untuk menemukan titik-titik persamaan antara pihak yang berdialog. Mengemukakan dan membahas persoalan-persoalan bersama dalam bidang kehidupan. Berkerja sama dalam masalah yang disepakati dan saling toleransi dalam masalah yang diperselisihkan. Dengan begitu, akan terjalin hubungan baru antar penganut agama atas dasar saling percaya, menghargai dan saling menghormati. 

DAFTAR RUJUKAN

Daya, Burhanuddin. 2004. Agama Dialogis: Merenda Dialektika Idealita dan Realita Hubungan Antar Agama. (Yogyakarta: Mataram-Minang Lintas Budaya).

Syarif. 2009. Harmonisasi Antar Agama: Argumen dalam Wacana Tafsir Fikih dan Tafsir Sufistik. (Jakarta: Katayuk Publishing).

Hardjana, Agus M. 2009. Komunikasi Interpersonal & Intrapersonal. (Jakarta: Kanisius).

Zahroni, Mohammad. 2009. Filsafat Komunikasi, Pengantar Ontologis, Epistemologis, Aksiologis. (Yogyakarta: Graha Ilmu).

Panuju, Redi. 1997. Sistem Komunikasi Indonesia. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar).

0 komentar:

Post a Comment